Rabu, 16 Januari 2013

Biaya Nikah Rp. 30.000,- tapi kok



 Biaya Pencatatan Nikah
Rp. 30.000,- menjadi Rp. 300.000,-

Membaca komentar-komentar sebagian orang terkait biaya pencatatan nikah, tentu sangat mencengangkan, merinding dan kasihan. Bahasanya kotor-kotor.

Kalau benar mereka telah memberikan biaya pencatatan nikah mencapai 1,5 juta, mungkin itu hanya berlaku di kota-kota besar. Tidak semuanya kasus yang terjadi itu secara keseluruhan terjadi di tempat/wilayah lainnya. Jangankan 100 ribu mereka memberikan ucapan terima kasih, 10 ribu saja masih berjalan hingga saat ini, 2013. Bahkan banyak juga yang tidak memberikan uang jasa apa-apa.

Namun berapapun yang lebih dari 30 ribu, oleh sebagian pakar hukum dikatagorikan Gratifikasi

Yang lebih kasihan lagi adalah mempelai-mempelai yang tidak mempunyai wali nikah. Apakah karena walinya habis, atau tidak diketahui alamatnya, atau sebab-sebab lain yang mau-tidak mau harus memohon agar Penghulu/PPN menjadi wali hakim baginya. Wali yang dihujat gara-gara gratifikasi. Seseorang yang telah menjadikan halal hubungan laki-laki perempuan, menjadi suami istri penuh dengan pahala.

Wali hakimpun tak ada biayanya, hanya rasa terima kasih sesuka hatinya. Di tempat penulis mereka rata-rata memberi rasa hormat dan terima kasih (karena menjadi wali hakim) 50 ribu rupiah.

Benarkah apa yang dilakukan oleh penghulu KUA sudah masuk ranah gratifikasi?

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi.
Pasal 12 :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
ayat b :
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

 Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).



Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Pasal 12 B (Penjelasan)
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.


Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara tugas dan kewajiban Petugas Pencatat Nikah (PPN) / Penghulu :
  1. Melakukan pengawasan terhadap nikah yang dilakukan menurut agama Islam. (pasal 1, ayat 1 dan 2 UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk).
  2. Mencatat perkawinan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku ( pasal 1, ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
  3. Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah (pasal 10, ayat 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974).

Proses akad nikah secara syar’i merupakan kewajiban wali nikah.  Yang mengatakan  kewajiban wali adalah agama, bukan pemerintah. Disinilah kebanyakan wali nikah tidak mampu melakukannya sendiri, minta tolong dan mewakilkannya kepada Petugas Pencatat Nikah. dan itu sudah diluar kewajiban Petugas Pencatat Nikah. Dan menjadi keyakinan masyarakat, bahwa mewakilkan kepada para ulama’, habaib (orang-orang sholih) hukumnya sunnah dan sekagus dimintai berkah doanya.  



Kalau seseorang memberikan uang sebagai rasa terima kasih atas pertolongan tersebut “umumnya di tempat penulis 10 ribu s/d 50 ribu” tidak berlebihan. Namun benarkah masuk ranah gratifikasi?

Tugas pencatatan untuk satu peristiwa nikah:

a)      Pencatatan Pemeriksaaan Nikah, ada 107 item yang harus diperiksa dan dicatat.

b)      Penerbitan Pengumuman Nikah, ada 50 item yang harus dicatat.

c)      Proses akad nikah, ada 135 item yang harus diisi / dicatat.

d)      Penerbitan buku nikah / kutipan akta nikah, 100 item yang harus ditulis / dicatat.

e)      Pemberitahuan kepada KUA atau Pengadilan Agama, apabila yang menikah adalah seorang janda / duda cerai. Ada 25 item yang harus dicatat.

f)       Laporan ke dinas Dukcapil, ada 8 item yang harus diisi dan dicatat.

Inilah tugas kewajiban Pencatat Nikah / Penghulu.

Tugas tersebut dilaksanakan di KUA Kecamatan / Balai Nikah. ( pasal 21 ayat 1 Peraturan Menteri Agama RI Nomor 11 tahun 2007).



Kementerian Agama telah pernah mengatur hal ini semua (bedolan), tetapi karena bukan produk DPR RI maka oleh KPK dianggap tidak ada dasar hukumnya.



Karena peristiwa nikah adalah kebutuhan mendesak dan menyangkut orang banyak, mohon bagi para pengambil kebijakan untuk bersama-sama mencari jalan keluar yang bermartabat, menyejahterakan masyarakat dan menghargai profesionalisme PPN/Penghulu.

Sebab untuk menjadi seorang PPN/Penghulu minimal harus berijazah S1 Syaria’h dan mampu membaca kitab kuning / salaf.



Kami sangat berterima kasih apabila para pembaca tidak hanya pandai mencari titik kelemahan dan kekurangan saja, tetapi ikut memberikan sumbangan pemikiran yang bijaksana.
di poskan oleh:
H. Ahmad Said, S. Ag. MM
Pembina  IV/a
Kepala KUA Kec. Pecangaan
Kab. Jepara Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar