PEGAWAI PENCATAT NIKAH
didalam jerat gratifikasi dan pungli
Pegawai Pencatat
Nikah disingkat PPN, dalam referensi Islam disebut “Sulthon, Hakim dan Qady”. Suatu sebutan yang mulia dan
bermartabat. Dan memang suatu saat ia menjadi seorang “Wali Hakim” dalam bidang
pernikahan yakni menjadi sarana terjadinya akad yang dapat menghalalkan
hubungan laki-laki dan perempuan dan bahkan hubungan tersebut menjadi ibadah.
Apakah tidak layak PPN
dihargai sebagaimana Hakim?
Isu gratifikasi-pungli yang diarahkan kepada PPN patut menjadi renungan semua pengambil kebijakan, sebab yang dilakukan oleh PPN selama ini tidak keluar dari aturan:
- Biaya pencatatan nikah Rp. 30.000 (PP. Nomor: 47 Tahun 2004) pada awalnya dibayar sendiri calon pengantin ke kas Negara melalui Bank, namun karena suatu hal dititipkan ke KUA untuk disetor ke Bank.
- Yang banyak diributkan banyak pihak adalah pelaksanaan PMA No. 11 Tahun 2007 pasal 21:
ayat 2 : Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA.
Pemberian sesuatu kepada PPN setelah akad nikah, masuk
dalam katagori gratifikasi, walaupun “PPN melaksanakan sesuatu kewajiban yang bukan
tugas dan kewajibannya karena dimintai tolong wali nikah, seperti baca khutbah
nikah, mewakili menikahkan, membaca doa, memberi nasihat”.
Hal inilah yang “oleh banyak orang” tidak tahu atau tidak
mau tahu.
Apapun argumen dan penjelasan yang coba disampaikan oleh
para PPN itu dianggap salah,
mohon kepada para pengambil kebijakan agar PPN dan Penghulu
dapat dihargai sebagaimana Hakim ( sulthon, Qadiy dalam referensi Islam).
Satu Kecamatan rata-rata hanya terdiri satu PPN dan satu Penghulu,
bahkan ada yang tidak punya Penghulu.
Semoga langkah para pengambil kebijakan dapat
menyelamatkan PPN dan Penghulu dari jeratan gratifikasi yang menghinakan, dan
mengangkat PPN dan Penghulu ke tempat terhormat dan bermartabat.
Diposkan oleh Mamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar