Biaya Pencatatan Nikah
Rp. 30.000,- menjadi Rp. 300.000,-
Membaca
komentar-komentar sebagian orang terkait biaya pencatatan nikah, tentu sangat
mencengangkan, merinding dan kasihan. Bahasanya kotor-kotor.
Kalau benar mereka
telah memberikan biaya pencatatan nikah mencapai 1,5 juta, mungkin itu hanya
berlaku di kota-kota besar. Tidak semuanya kasus yang terjadi itu secara keseluruhan
terjadi di tempat/wilayah lainnya. Jangankan 100 ribu mereka memberikan ucapan
terima kasih, 10 ribu saja masih berjalan hingga saat ini, 2013. Bahkan banyak
juga yang tidak memberikan uang jasa apa-apa.
Namun berapapun yang
lebih dari 30 ribu, oleh sebagian pakar hukum dikatagorikan Gratifikasi
Yang lebih kasihan
lagi adalah mempelai-mempelai yang tidak mempunyai wali nikah. Apakah karena
walinya habis, atau tidak diketahui alamatnya, atau sebab-sebab lain yang
mau-tidak mau harus memohon agar Penghulu/PPN menjadi wali hakim baginya. Wali
yang dihujat gara-gara gratifikasi. Seseorang yang telah
menjadikan halal hubungan laki-laki perempuan, menjadi suami istri penuh dengan
pahala.
Wali hakimpun tak ada
biayanya, hanya rasa terima kasih sesuka hatinya. Di tempat penulis mereka
rata-rata memberi rasa hormat dan terima kasih (karena menjadi wali hakim) 50
ribu rupiah.
Benarkah apa yang
dilakukan oleh penghulu KUA sudah masuk ranah gratifikasi?
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidanan
Korupsi.
Pasal 12 :
Dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):
ayat b :
b. pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena
telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya;
Pasal 12 A
(1) Ketentuan
mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak
berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku
tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan
suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan
oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 12 B (Penjelasan)
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
"gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di
dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pasal 12 C
(1) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima
gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat
menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai
tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan
status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang undang
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara tugas dan
kewajiban Petugas Pencatat Nikah (PPN) / Penghulu :
- Melakukan pengawasan terhadap nikah yang dilakukan menurut agama Islam. (pasal 1, ayat 1 dan 2 UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk).
- Mencatat perkawinan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku ( pasal 1, ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
- Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah (pasal 10, ayat 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974).
Proses akad nikah secara syar’i merupakan kewajiban
wali nikah. Yang mengatakan kewajiban wali adalah agama, bukan pemerintah.
Disinilah kebanyakan wali nikah tidak mampu melakukannya sendiri, minta tolong
dan mewakilkannya kepada Petugas Pencatat Nikah. dan itu sudah diluar kewajiban
Petugas Pencatat Nikah. Dan menjadi keyakinan masyarakat, bahwa mewakilkan
kepada para ulama’, habaib (orang-orang sholih) hukumnya sunnah dan sekagus
dimintai berkah doanya.
Kalau seseorang memberikan uang sebagai rasa terima kasih
atas pertolongan tersebut “umumnya di tempat penulis 10 ribu s/d 50 ribu” tidak
berlebihan. Namun benarkah masuk ranah gratifikasi?
Tugas pencatatan untuk satu peristiwa nikah:
a) Pencatatan Pemeriksaaan Nikah,
ada 107 item yang harus diperiksa dan dicatat.
b) Penerbitan Pengumuman Nikah, ada
50 item yang harus dicatat.
c) Proses akad nikah, ada 135 item
yang harus diisi / dicatat.
d) Penerbitan buku nikah / kutipan
akta nikah, 100 item yang harus ditulis / dicatat.
e) Pemberitahuan kepada KUA atau
Pengadilan Agama, apabila yang menikah adalah seorang janda / duda cerai. Ada 25
item yang harus dicatat.
f) Laporan ke dinas Dukcapil, ada 8
item yang harus diisi dan dicatat.
Inilah
tugas kewajiban Pencatat Nikah / Penghulu.
Tugas tersebut dilaksanakan di KUA Kecamatan / Balai
Nikah. ( pasal 21 ayat 1 Peraturan Menteri Agama RI Nomor 11 tahun 2007).
Kementerian Agama telah pernah mengatur hal ini semua (bedolan),
tetapi karena bukan produk DPR RI maka oleh KPK dianggap tidak ada dasar
hukumnya.
Karena peristiwa nikah adalah kebutuhan mendesak dan
menyangkut orang banyak, mohon bagi para pengambil kebijakan untuk bersama-sama
mencari jalan keluar yang bermartabat, menyejahterakan masyarakat dan
menghargai profesionalisme PPN/Penghulu.
Sebab untuk menjadi seorang PPN/Penghulu minimal harus
berijazah S1 Syaria’h dan mampu membaca kitab kuning / salaf.
Kami sangat berterima kasih apabila para pembaca tidak
hanya pandai mencari titik kelemahan dan kekurangan saja, tetapi ikut
memberikan sumbangan pemikiran yang bijaksana.
di poskan oleh:
H. Ahmad Said, S. Ag. MM
Pembina IV/a
Kepala KUA Kec. Pecangaan
Kab. Jepara Jawa Tengah
Kab. Jepara Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar